Sejalan dengan kesuksesan dalam memprediksi hasil pemilu, survei opini publik kini tidak lagi terlepaskan dalam setiap ajang kontestasi politik di Indonesia. Dengan keberhasilan yang digapai, pantaskah survei dijadikan rujukan ideal dalam mengekspresikan opini publik?
Tinggal dalam hitungan hari, hasil resmi penghitungan suara Pemilu Presiden 2009 akan diumumkan. Tampaknya, hasil resmi tersebut tidak akan menjadi sebuah kejutan mengingat berbagai hasil survei opini publik jauh-jauh hari telah memprediksi cukup tepat posisi setiap pasangan kandidat yang bersaing.
Memang, ketepatan sebagian lembaga survei memprediksi hasil pemilu kali ini layak menjadi catatan tersendiri bagi perjalanan survei opini publik di negeri ini. Terhadap keberhasilan ini, terdapat beberapa catatan yang setidaknya patut diungkapkan.
Pertama, semakin diyakinkan kini bahwa survei yang merekam opini masyarakat sebelum pemilu mampu digunakan sebagai instrumen prediksi yang cukup baik. Tidak heran pula jika hasil-hasil survei kini tidak hanya menjadi rujukan para aktor maupun institusi politik dalam segenap aktivitas politik mereka, tetapi telah menjadi faktor utama yang mengubah wajah perpolitikan negeri ini.
Tentu saja, keberhasilan yang dicapai disertai pula persyaratan apabila survei rujukan tersebut diselenggarakan dengan prinsip ilmiah, dilandasi oleh penggunaan metode yang baik dan benar. Apa yang terjadi pada ajang pemilu lalu menunjukkan, bagi sebagian lembaga survei yang kali ini tergolong keliru dalam memprediksi hasil pemilu, seperti ketidaktepatan dalam memprediksi urutan setiap pasangan, terlalu besarnya selisih antara hasil prediksi dan hasil pemilu sesungguhnya, maupun ketidakakuratan dalam menyimpulkan pemilu kali ini akan berlangsung dalam dua putaran, memiliki problem dalam penerapan metode survei.
Kedua, sekalipun survei opini mampu memprediksi dengan tepat, fakta lain menunjukkan bahwa kadar keakuratan survei masih belum sepenuhnya tergolong presisi. Merujuk pada Pemilu Presiden 2009 kali ini, misalnya, ketepatan cenderung terjadi dalam upaya memprediksi urutan ketiga pasangan kandidat yang bersaing bukan pada besarnya proporsi suara yang diperoleh dari setiap kandidat. Sekalipun terdapat beberapa prediksi lembaga survei yang tepat dan diikuti pula proporsi perolehan suara yang tergolong presisi, kenyataan juga menunjukkan kadar akurasi semacam ini tidak berlaku pada perolehan semua pasangan kandidat.
Belum konsisten
Dua catatan kualitas prediksi survei pemilu presiden tersebut jika ditelusuri lebih jauh belum dapat disimpulkan sebagai sesuatu pencapaian yang konsisten. Merujuk pada kondisi sebelumnya, sepanjang sejarah penyelenggaraan survei opini publik pemilu di era liberalisasi politik pascakeruntuhan rezim Orde Baru (Pemilu 1999, 2004, dan berbagai ajang Pilkada 2005-2008) pun memaparkan pengalaman yang kurang lebih sama.
Selama ini ketepatan dalam memprediksi hasil ajang kontestasi politik telah berkali-kali dilakukan. Apresiasi terhadap keberhasilan lembaga survei pun banyak dinyatakan. Namun, sepanjang perjalanan sejarah survei opini di negeri ini harus diakui masih teramat minim survei berbasis opini publik yang berhasil memprediksi secara tepat dua hal bersamaan, yaitu akurat terhadap urutan kemenangan sekaligus rentang proporsi yang dicapai setiap peserta pemilu.
Pemilu 1999 menjadi arena pertama kalinya akurasi survei opini publik diujicobakan. Saat itu, sekalipun hasil survei tepat memprediksi kemenangan PDI-P, tidak ada satu lembaga survei pun yang mampu secara akurat memprediksi ketepatan urutan setiap partai politik yang berkompetisi maupun akurasi perolehan proporsi dari semua partai tersebut. Tidak jarang dijumpai prediksi perolehan partai melebihi 5 persen dari hitungan resmi pemilu, atau sebaliknya kurang jauh dari hasil sesungguhnya. Pemilu 2004, khususnya pemilu legislatif, sebenarnya kualitas prediksi beranjak lebih baik. Sayangnya, kualitas prediksi tidak mampu terpertahankan dalam ajang pemilu presiden di tahun yang sama, kembali menoreh hasil prediksi yang kurang memuaskan.
Sisi lain, catatan keberhasilan prediksi survei kali ini tidak berarti pula meneguhkan konsistensi kualitas institusi survei yang ada. Yang menarik, sekitar satu dasawarsa perjalanan survei opini publik, hingga saat ini belum ada satu lembaga survei pun yang mampu mempertahankan secara konsisten dari waktu ke waktu ketepatan prediksi survei opini mereka. Membandingkan kualitas prediksi antara hasil Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2009, misalnya, amat jelas menggambarkan kondisi demikian. Kasus-kasus ketidakakuratan dalam prediksi urutan dan besaran proporsi perolehan partai politik dalam ajang Pemilu Legislatif 2009 dialami oleh sebagian institusi survei yang hasil prediksinya dalam Pemilu Presiden 2009 tergolong tepat.
Sejarah
Masa lalu sejarah penyelenggaraan survei opini publik di negeri ini pun telah menorehkan pengalaman sejenis. Pada ajang Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2004, secara gamblang dipaparkan bahwa keberhasilan institusi survei memprediksi hasil pemilu legislatif diikuti pula oleh ketidakakuratan lembaga survei tersebut dalam memprediksi hasil pemilu presiden walau kedua ajang kontestasi politik tersebut berlangsung dalam waktu yang berdekatan. Jika ditelusuri lebih dalam, catatan ketidakkonsistenan semacam ini akan semakin panjang terungkap pada rentetan penyelenggaraan survei opini publik dalam ajang Pilkada 2005 hingga 2008.
Apabila dalam persoalan ketepatan dan konsistensi memprediksi tidak banyak yang patut diistimewakan, menjadi pertanyaan kini hal apa yang membedakan sekaligus mencirikan penyelenggaraan survei kali ini dibandingkan dengan masa sebelumnya?
Menelusuri perjalanan survei opini publik di negeri ini, terdapat dinamika menarik yang terjadi pada setiap periode penyelenggaraan sekaligus mampu mencirikan setiap periode penyelenggaraan survei tersebut. Setidaknya dapat dipilahkan tiga babak perjalanan survei opini di negeri ini (Tabel).
Survei pada era Orde Baru merupakan rintisan keberadaan survei opini di negeri ini. Beragam ketidaksempurnaan, baik aspek teknis metodologi maupun teknis penyelenggaraan, mewarnai keberadaan survei di era ini. Di sisi produksi, misalnya, hanya segelintir lembaga berkecimpung dalam urusan pengumpulan opini publik. Institusi negara, dalam hal ini pemerintah, lebih banyak mendominasi penyelenggaraan survei. Memang terdapat beberapa media massa maupun institusi swasta yang turut berpartisipasi, tetapi dalam skala penyelenggaraan yang amat terbatas dengan tema yang tidak langsung berkaitan dengan politik dan kekuasaan negara.
Di sisi distribusi pun penuh dengan ketidaksempurnaan. Publikasi survei amat jarang terdengar. Sesekali negara mengumumkan penyelenggaraan survei politik, tetapi khalayak tidak pernah mengetahui hasil survei tersebut. Adapun survei media massa atau institusi swasta mengumumkan hasil survei, tetapi di kemudian hari justru menuai aksi represif penguasa ataupun reaksi negatif masyarakat terhadap hasil survei tersebut. Singkatnya, periode rintisan survei yang terjadi saat kondisi makro politik dominan di bawah kendali penguasa rezim merupakan masa kelam penyelenggaraan survei opini.
Masa kelam survei terempas sejalan dengan dimulainya kebebasan berekspresi. Runtuhnya era Orde Baru menjadi babak baru penyelenggaraan survei. Negara tidak lagi tampak sebagai penguasa tunggal survei. Antusiasme penyelenggaraan terjadi di kalangan masyarakat, melibatkan kalangan perguruan tinggi, berbagai organisasi nonpemerintah, ataupun media massa. Kesan ideal survei sebagai instrumen yang berupaya mengetengahkan suara rakyat dalam pusaran politik penyelenggaraan negara kental terlihat. Kondisi demikian ditopang oleh dukungan pendanaan institusi nonprofit luar negeri yang terlibat dalam upaya pendemokrasian negeri ini.
Membandingkan dengan periode sebelumnya, jelas terdapat beberapa kemajuan, terlihat upaya menerapkan survei yang bersifat saintifik. Dari sisi kualitas survei, apa yang dicapai pun cukup memuaskan. Ajang Pemilu 1999 menjadi bukti ketepatan institusi survei dalam memprediksi. Hanya, pencapaian periode ini tetap berbalut berbagai ketidaksempurnaan, terutama dari sisi kemampuan menerapkan metode dan teknis penyelenggaraan survei yang berbuntut pada kualitas validitas dan reliabilitas yang relatif rendah.
0 komentar:
Posting Komentar